Kamis, 23 Agustus 2018

Kehilangan Diri Sendiri ( Fenomena Pemuda Zaman Now )

Doc. Mesjid Tua Minangkabau-Pariangan
Perjalanan terberat dalam hidup adalah menemukan diri sendiri. Perjalanan terkelam dalam hidup adalah kehilangan diri sendiri. Perjalanan hidup paling membahagiakan dan penuh syukur adalah menemukan kembali diri sendiri.

***



Halo sobat cendekia,

Kali ini admin akan berbagi cerita tantang fenomena yang merupakan “Siklus Kehidupan” sering terjadi dan dihadapi oleh manusia se-usia kita saat ini khususnya pemuda ( 20 – 25 Tahun ). Dimana pemuda kita saat ini sering merasa “ Galau ” atau seperti sebagian dari kita merasa tidak bermakna, sebagian yang lain mungkin sedang “ kehilangan dirinya sendiri ” seperti pengalaman yang penulis pernah rasakan sendiri.

Memang sejatinya dalam perjalanan hidup kita saat ini ( Pemuda ) selalu dihadapkan pada berbagai krisis sebagai tanggung jawab menuju  perkembangan menjadi manusia dewasa. Dalam perjalanan menuju kedewasaan, ada kalanya kita sampai pada masa-masa yang penuh konflik ketika keinginan dan relita tidak sejalan, ketika keinginan kita bertentangan dengan harapan orang-orang yang merasa dirinya lebih tahu dari pada diri kita sendiri.

Sebagai contoh ketika lulus kuliah dan belum memiliki prospek kerja, sudah memiliki pekerjaan namun merasa tidak sesuai kenginan kita, gagal dalam suatu wawancara pekerjaan, dikhianati teman dekat, patah hati ( karena di tekong misalnya ;D) , merugi dalam suatu bisnis, baru saja mengalami perceraian usia muda ( Maaf ) dan hal lainnya yang menyumbang kecemasan dan rasa frustasi kita sehari-hari bisa menjadi penyebab kita kehilangan diri sendiri sehingga menimbulkan kekacauan dalam pikiran kita ( Galau )

Lazimnya kita hanya menjalani hidup based on what most people do. Meskipun pada akhirnya, mulai timbul berbagai pertanyaan yang belum ada jawabnya di otak dan benak kita sendiri, seperti “mau jadi apa saya?”, “mau kemana sih jalan hidup saya?”, “mau kapan nikah?” dan sebagainya. Setiap pertanyaan muncul rutin satu per satu dalam setiap jamnya. Sementara, jawaban dari setiap pertanyaan tersebut hanya “saya nggak tau”

Kehilangan diri sendiri, seringkali membuat kita mempertanyakan kembali apa, siapa, dan mau kemana diri kita ini. Namun, yang kita temukan hanyalah diri kita yang lemah tak berdaya, terdegradasi dari himpitan dan kerasnya hidup. Kita bukan apa-apa, hanya seonggok manusia yang tidak berarti di luasnya galaksi ini. Kita merasa sedih, cemas, bimbang, tidak tahu akan berbuat apa, menyalahkan diri sendiri atas pilihan-pilihan hidup yang telah kita ambil, dan akhirnya kita kehilangan kendali atas diri sendiri. Kita kehilangan arah kehilangan diri kita sendiri. Kita berubah menjadi seseorang yang sama sekali tidak kita kenal, bahkan kita kehilangan jati diri.


Padahal jika kita meluangkan waktu sejenak untuk mengevaluasi diri kita kembali dengan bijak, mengapa hal ini bisa terjadi dalam diri kita? Ternyata semua terjadi memang pada fase-fase hidup dengan kondisi usia dan kehidupan saat ini yang sedang kita jalani sebagai seorang pemuda.


***

Setelah sekian lama saya bergulat  untuk mencari diri sendiri yang hilang akhirnya, saya menemukan salah satu artikel yang menjelaskan tentang fenomena yang saya alami, yakni quarter life crisis. Quarter life crisis (QLC)  adalah masa-masa yang saya ceritakan di awal tadi. Menurut The Guardian yang saya kutip dari Forbes, 85% milenial (tahun kelahiran 1980-2000) mengalami hal serupa di usia 20-30 tahun. Mereka mulai menanyakan tentang diri mereka, menanyakan tentang “apa yang sebenarnya dicari dalam kehidupan ini?” Mulai sering kecewa pada diri sendiri dan sebagainya.


Sejatinya, QLC bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan sesuatu yang harus dipahami dan dipelajari. QLC ini terasa seperti alarm, tanda bahwa kita sudah dewasa. Setidaknya dewasa awal. Seperti saya yang bertemu dengan QLC saya dan berjalan menuju arah keluar dari QLC saya dengan berbagai cara. Saya mengangap jalan terbaik untuk keluar dari fase ini adalah mengenal diri. Saya mencoba berpikir deduktif-induktif. Dari segala macam cara yang saya lakukan, saya menganggap pangkal dari cara-cara tersebut adalah “seberapa besar saya mengenal diri saya”. Bagi saya hal itu akan membantu kita keluar dari QLC ini.


***

Sejatinya setiap orang pada dasarnya unik, dilahirkan dengan masalah nya masing-masing, maka saya yakin pasti cara yang bisa dipilih untuk keluar dari QLC ini jelas beragam. Kita bisa menemukan terapi kita sendiri kalau kita berhasil mengenal diri kita sendiri.

Pahamilah ketika kita sedang mengalami fase quarter life crisis. Memahami diri kita sendiri pada fase itu merupakan sebuah kabijaksaan dalam menemukan diri kita  yang telah hilang.

~ Prawira

#Salam bermanfaat


*Diolah dari berbagai sumber

Senin, 06 Agustus 2018

Bedah buku " The Power Principle Influenced With Honor "

 
Detail Buku :
Judul             : The Power Principle Influence with Honor ( Prinsip Kekuatan mempngaruhi dengan kehormatan )
Penulis          : Blaine Lee
Tahun Terbit : May 1997
Penerbit        : Simon & Schuster


Halo sobat Cendekia, kali ini saya ingin berbagi sedikit hasil bedah buku yang saya ikuti bersama Coach Darmawan Aji ( Pakar Bisinis Indonesia ) dalam sebuah forum Bedah Buku Bisnis yang saya ikuti setiap minggunya.

Kali ini kita akan membedah buku yang juga fenomenal " The Power Principle Influence with Honor ( Prinsip Kekuatan mempngaruhi dengan kehormatan ) bersama coach Aji.

" ...Dalam tradisi yang mengubah hidup dari 7 Kebiasaan Orang yang Sangat Efektif, Prinsip Kekuatan mengajarkan prinsip-prinsip inti yang secara dramatis memengaruhi karier dan kehidupan kita. Dr. Blaine Lee, seorang guru luar biasa, menunjukkan bagaimana kekuatan yang berpusat pada prinsip adalah kemampuan untuk memengaruhi perilaku orang lain, bukan untuk mengontrol, mengubah, atau memanipulasinya. Kekuasaan adalah sesuatu yang orang lain rasakan di hadapan Anda karena apa yang Anda serta apa yang dapat Anda lakukan, apa yang Anda perjuangkan, dan bagaimana Anda menjalani hidup Anda. Ketika Anda menghormati orang lain, mereka akan menghormati Anda. Lee menunjukkan kepada Anda bagaimana mengatasi ketidakberdayaan, menciptakan kekuatan dan pengaruh yang sah dengan kehormatan, dan menciptakan warisan yang akan hidup lebih lama dari Anda dalam kehidupan orang-orang yang paling Anda sayangi"

Pengaruh memerlukan kekuatan (power). Tanpa kekuatan, tidak akan ada pengaruh,
Kita tidak dapat memengaruhi saat kita ada dalam kondisi tidak berdaya (powerless). Adalah pilihan dalam hidup, untuk merasa berdaya atau tidak berdaya saat menghadapi sebuah situasi tertentu.

Ciri kondisi tidak berdaya: saat kita merasa tidak dapat melakukan apa-apa, saat kita merasa tidak ada yg mendengarkan kita, saat kita merasa frustasi dan diabaikan.

Kondisi spt ini menggerus  kepercayaan diri kita dan efektivitas kita dalam menghadapi orang lain.

Kondisi tidak berdaya tercipta oleh mentalitas korban. Keyakinan bahwa kita adalah korban, dan orang lain pelakunya. Ini membuat kita menyalahkan dan melemparkan tanggung jawab kita ke orang lain.

Akar dari kondisi tak berdaya adalah keraguan. Keraguan pada diri, keraguan bahwa kita dapat mengubah situasi.

Ketidakberdayaan ini akan mendorong perilaku: apatis, keengganan merespon situasi, tindakan yg irasional, tidak mau bertindak, menunda-nunda, mengabaikan

Dampak yg muncul: status quo, ketidakpastian, melemahnya kemampuan, harapan/fantasi.

Bila kita merasa tidak berdaya di salah satu aspek dalam hidup kita, kita dapat mengubahnya. Kita dapat membangun kembali kekuatan kita dan menjadi berdaya.

Ada tiga macam kekuatan yang dapat kita bangun. Ini pilihan kita :

1. Kekuatan koersi/paksaan.
2. Kekuatan faedah.
3. Kekuatan berbasis prinsip.

Koersi adalah kekuatan yg muncul dengan paksaan atau tekanan. Kita berusaha mengendalikan dan memengaruhi orang lain dengan rasa takut.

Kekuatan ini akan memunculkan ketaatan. Namun sifatnya temporer.

Apa saja yg memicu kekuatan jenis ini? Banyak, misalnya:
- ketidaksabaran
- kelelahan
- kemarahan
- rasa tidak aman
- kurangnya keahlian

Koersi akan memunculkan resistensi, secara laten maupun terang-terangan.

Perilaku terkait koersi:
- intimidasi
- bully
- menakut-nakuti
- mengancam
- memaksa

Perilaku koersi akan menghasilkan:
- perlawanan
- ketergantungan
- sabotase
- hilangnya kepercayaan
- oposisi

Jenis kekuatan kedua adalah kekuatan faedah. Sifatnya barter/transaksional/timbal balik.

Orang mengikuti kita karena kita berfaedah bagi mereka. Orang mengikuti kita karena kita memberikan sesuatu kepada mereka. Orang mengikuti kita karena mereka mengharapkan imbalan dari kita.

Ada beberapa tipe kekuatan faedah.

1. Reward Power - penghargaan.
2. Position Power - kita punya jabatan.
3. Expert Power - kita punya otoritas dlm hal keahlian.
4. Charisma Power - orang tertarik dg kepribadian kita.
5. Informational Power - orang mengikuti kita karena kita memiliki informasi yg mereka butuhkan.
6. Opportunity Power - mereka memgikuti kita karena kita memiliki peluang yg dibutuhkan.
7. Resource Power - kita punya akses ke sunberdaya.
8. Instrumental Power - kita punya kemampuan menggerakkan orang, menuntaskan sesuatu.
9. Appraisal Power - kita memiliki kemampuan uyk memberikan umpan balik informatif maupun korektif.
10. Relation Power - kita punya koneksi dengan orang kuat.

Kekuatan jenis ini menghasilkan kesepakatan. Ini bagus. Jauh lebih baik dari koersi.

Namun tetap saja pengaruh yg dihasilkan di sini bersifat temporer dan kondisional. Begitu kita tidak berfaedah lagi, kita kehilangan pengaruh kita.

Perilaku terkait kekuatan faedah:
- menawarkan
- pertukaran
- negosiasi

Hasil:
- kesepakatan
- kompromi
- transaksi

Terakhir, kekuatan berbasis prinsip. Pengaruh ini muncul dari rasa hormat yg mendalam kepada seseorang. Seringkali, pengaruh yg dihasilkan akan tetap berlangsung meskipun orang tsb sudah tiada.

Kekuatan berbasis prinsip memunculkan perilaku:
- persuasi
- sabar
- lemah lembut
- mau mengajari
- mau belajar
- menerima orang lain apa adanya
- mencintai
- disiplin
- konsisten
- integritas

Hasilnya:
- kemitraan
- kepercayaan
- sinergi
- perilaku etis
- solusi win/win
- relasi jangka panjang

Sekarang, coba pikirkan hubungan kita dengan anak.

Apakah kita merasa tidak berdaya atau berdaya dg anak kita?

Jika kita merasa berdaya, jenis kekuatan apa yg kita gunakan?

Paksaan kah?
Pertukaran/faedah kah?
Atau kekuatan berbasis prinsip?

Pikirkan pula hubungan kita dg orang lain yg kita anggap penting. Apakah kita berdaya atau tidak berdaya? Jenis kekuatan apa yg kita gunakan?


~Sekian

#Salam beranfaat